Daftar Isi

WELCOME TO THIS BLOG

Monday, 18 January 2010

Pendidikan Anak; Sebuah Kesadaran

Hari ini saya berdiskusi ringan dengan mas Umar (koordinator rumah belajar pelangi) serta mas Tasik (seorang relawan SIGAB).



Sebuah diskusi hangat pasca makan siang yang biasa kami lakukan di pendopo kantor yang berawal dari ngalor ngidul gak karuan, yang tidak disangka akan masuk pada wilayah pembicaraan yang lebih serius.


Setelah bicara ruwet gak karuan, tiba-tiba mas Umar mengalihkan pembicaraan pada pelaksanaan rumah belajar pelangi yang sudah berjalan untuk kurun waktu tiga bulan ini. Rumah belajar pelangi adalah program pengayaan pembelajaran yang kita create dan diperuntukkan bagi anak-anak difabel yang membutuhkan pengayaan pembelajaran. Saat ini, RBP masih difokuskan bagi anak-anak tuna rugu dengan program pembelajaran yang dispesifikasikan kepada peningkatan kemampuan bahasa dan membaca.


Umar: "Pak Joni, kok ada yang aneh ya dengan kecenderungan di RBP kita? Saya heran dengan sikap orang tua. Kita ini kan memberikan pembelajaran kepada anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu yang membutuhkan pendidikan, tapi kok ada diantara orang tua yang berasal dari keluarga miskin ketika anaknya akan kita beri pelayanan menolak ya?"


Dengan berapi-api, mas Umar menambahkan penjelasannya bahwa apa yang diberikan di RBP itu kan sebetulnya pembelajaran yang mutlak dibutuhkan oleh anak-anak yang semestinya didukung oleh orang tua anak tersebut. Tapi yang terjadi tidaklah begitu. Menurut mas Umar, yang terjadi justru orang tua difabel (terutama mereka yang miskin) seperti tidak punya pengharapan terhadap masa depan anaknya. Bahkan, mas umar dengan marahnya menirukan pernyataan salah satu orang tua yang menyatakan: "Yang penting kan anak saya tak openi, bisa makan, bisa main sama teman-temannya... Lha mau diapain lagi orang sudah kaya gitu kondisinya mau disekolahkan juga tidak akan bisa jadi apa-apa!!".


"Orang tua seperti itu pastilah orang tua yang bodoh.", celetup mas Tasik dengan nada sedikit gondok. Menurut mas Tasik, fakta kemiskinan yang menyelimuti sebagian besar keluarga difabel menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tidak adanya pengharapan keluarga difabel terhadap anak-anak mereka yang difabel. Apa lagi bila dibenturkan dengan kenyataan bahwa semua hal yang berkait dengan difabel pastilah mahal. SLB memang gratis, tapi lokasinya yang jauh dari rumah tempat tinggal menyebabkan untuk pulang dan pergi anak membutuhkan biaya mahal untuk transportasi. Belum kalau harus diantar. Sementara sekolah inklusi yang katanya memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan anak itu ternyata justru sebagian besar malah menterlantarkan difabel dengan tidak adanya unsur pembelajaran yang dirancang untuk menjawab kebutuhan khusus anak. Untuk anak tunarungu misalnya, tidak ada program pengayaan bahasa, sedangkan untuk tunanetra, tidak ada program orientasi dan mobilitas yang sebenarnya sangat dibutuhkan bagi anak-anak pada awal sekolah. "Lha kalau yang kaya saja bayar mahal tidak tertangani secara optimal, bagaimana dengan yang miskin!", tandas mas Tasik.


Tetapi, bagi saya, apapun alasannya, orang tua yang tidak mau memberikan kesempatan dan mendukung pendidikan anaknya adalah orang tua yang paling bodoh se dunia. Apa yang diberikan oleh RBP adalah sesuatu yang tidak mengenal pembiayaan. Mereka memang memungut biaya bagi mereka yang mampu. Tapi tidak bagi yang tidak mampu. Alasannya jelas bahwa pendidikan merupakan hak setiap anak yang tanpa syarat apakah dia difabel atau bukan, apakah dia kaya atau tidak. Artinya, anak dari keluarga miskin pun berhak atas layanan pendidikan di RBP. Jika mereka tidak mampu membayar, adalah menjadi tanggungjawab kami untuk mencarikan pembiayaannya. Tapi bukankah dengan membolehkan anaknya ikut program ini serta memberi dukungan dengan bersikap kooperatif saja sudah merupakan bentuk dukungan yang tak ternilai bagi pendidikan anak mereka? Kenapa itu tidak dilakukan? Inilah mengapa saya harus katakan bahwa orang tua yang seperti ini adalah orang tua yang bodoh!!


Lebih parah lagi, mas umar justru mengatakan orang tua itu sebagai orang-orang yang tidak punya otak... "Kalau mas Joni butuh uang dan saya datang menawarkan pemberian uang tanpa pamrih apapun, lalu mas Joni menolaknya, apa itu namanya kalau orang tidak punya otak?!" "Ya itulah perumpamaan untuk orang-orang tua yang seperti itu...


Penulis: Joni Yulianto

Kunjungi Blog Ini atau yang ini

Read More..

Wednesday, 13 January 2010

Untuk Generasi Anak-Anak Difabel Yang Lebih Baik

Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) merupakan sebuah organisasi local di Yogyakarta yang bercita-cita besar akan terwujudnya masyarakat inklusif di Indonesia. Masyarakat inklusif yang dimaksud adalah sebuah masyarakat yang menjunjung keadilan, kesetaraan serta kesamaan hak bagi difabel, sehingga masyarakat difabel dapat berpartisipasi penuh secara inklusif dalam kehidupan social mereka. Sebagai bagian dari cita-cita tersebut, maka salah satu yang menjadi kerja SIGAB adalah mengembangkan serta mendiseminasikan unit-unit layanan yang mendukung pemenuhan hak difabel secara tepat yang secara lebih nyata diturunkan ke dalam penyediaan layanan, pendampingan dan advokasi pendidikan bagi anak-anak difabel untuk memperoleh hak mereka akan pendidikan secara tepat.



Untuk mewujudkan kerja tersebut, SIGAB pada Oktober 2009 telah mendirikan sebuah unit layanan yang diberi nama Rumah Belajar Pelangi.



Apakah Rumah Belajar Pelangi?



Rumah Belajar Pelangi merupakan sebuah layanan pendidikan yang didisain untuk memberikan jawaban atas kebutuhan khusus yang dialami oelh anak-anak berkebutuhan khusus seperti anak-anak dengan perbedaan kemampuan wicara/komunikasi, anak dengan keberbedaan kemampuan mental dan sebagainya yang dalam hal pendidikan pasti akan membutuhkan situasi, treatment, metode serta media pembelajaran yang berbeda. Anak dengan perbedaan kemampuan dengar misalnya, jika tidak tertangani secara tepat, pada usia sekolah mereka akan besar kemungkinannya mengalami kemiskinan bahasa yang pada gilirannya, mereka tidak akan dapat mengikuti proses belajar secara baik. Merekaakan tertinggal perkembangannya dibanding anak-anak lainnya. Malangnya itu terjadi bukan karena kualitas intelektual mereka yang lemah, melainkan karena tidak adanya layanan yang tepat bagi mereka. Kami menyediakan layanan pendampingan belajar bagi anak-anak pra sekolah maupun usia sekolah untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan khusus mereka dalam belajar.



Mengingat bahwa pendidikan adalah hak semua anak, dan bahwa merupakan hak setiap anak untuk berkembang sesuai dengan kapasitas individu masing-masing yang dimiliki, layanan kami diperuntukkan bagi setiap anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan dan berada pada wilayah jangkauan kami. Tidak peduli apakah mereka berasal dari keluarga kaya atau kurang mampu, apakah mereka mampu membayar biaya investasi atau tidak, mereka tetap berhak menerima layanan kami.



Bagaimanakah Model Pembelajaran Yang Diberikan?



Kami berpandangan bahwa setiap anak, entah dia berkebutuhan khusus atautidak, mempunyai pribadi yang unik dan berbeda satu sama lain. Untuk itu, penyeragaman metode dan materi pembelajaran tidaklah merupakan solusi yang tepat. Dalam menyusun program pembelajaran, Rumah Belajar Pelangi mendahulukan assessment untuk mengukur tingkat kemampuan awal anak. Berdasarkan assessment itulah materi, metode, media serta program pembeljaran secara keseluruhan akan disusun dengan melibatkan komunikasi dengan orang tua. Dengan demikian, diharapkan program pembelajaran yang disusun benar-benar sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak.



Pengembangan Program



Saat ini, Rumah Belajar Pelangi sudah melayani sepuluh anak berkebutuhan khusus sejak pendiriannya, dan pada tahun 2010 ini kami mentargetkan untuk dapat memberikan layanan pembelajaran pada empat puluh anak berkebutuhan khusus di daerah istimewa yogyakarta.



Dukung Kami



Keberlanjutan unit layanan ini sangat tergantung pada dukungan dan swadaya masyarakat. Saat ini, penyelenggaraan program Rumah Belajar Pelangi masih didukung sepenuhnya oleh SIGAB. Bagi anda yang tertarik untuk memberikan dukungan berupa donasi maupun sumber daya lainnya untuk mendukung agar lebih banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang kami layani, dapat mengirimkan ketertarikan dukungan melalui alamat kontak yang ada di bawah ini.



Hubungi Kami



Jika anda ingin bertanya seputar rumah belajar pelangi, silahkan hubungi alamat berikut:
Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB), Perum Sawitsari I/3, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta 55282


Atau hubungi Sumarsihono (coordinator rumah belajar pelangi) di:
Phone: 088802885300 / 02742115871


Pertanyaan dapat juga disampaikan melalui e-mail ke:
Sumarsihono atau SIGAB


Read More..

Tuesday, 11 August 2009

TETAP SEMANGAT MENGHADAPI APAPUN

Ditulis oleh Hendro Sugiono Wibowo

hendro.sw@gmail.com

Pendidikan inklusi merupakan suatu system pendidikan yang mana dalam pelaksanaan proses pembelajarannya selalu diselaraskan dengan kondisi peserta didiknya. Kondisi tersebut mencakup dua aspek yaitu aspek fisik dan non fisik. Dalam peraturan walikota Yogyakarta no 47 tahun 2008 tentang "Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi" bab I pasal 1 dijelaskan bahwa pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan national yang menyertakan semua anak secara bersama-sama dalam suatu iklim dan proses pembelajaran dengan layanan pendidikan yang layak dan sesuai dengan potensi, kemampuan, kondisi, dan kebutuhan individu peserta didik tanpa membeda-bedakan latar belakang kondisi sosial, ekonomi, politik, suku, bahasa, jenis kelamin, agama atau kepercayaan, serta perbedaan kondisi fisik maupun mental. Hal ini sangat sejalan dengan Undang-undang no 4 tahun 1997 tentang "Panyandang Cacat" bab III pasal 6 point perttama yang menerangkan bahwa setiap penyandang cacat (difabel) berhak memperoleh pendidikan pada semua satuan, jalur, dan jenjang pendidikan. Pasal ini jika dikaji lebih dalam lagi secara implisit mengandung pengertian bahwa masyarakat, terutama pemerintah dan pihak-pihak pemegang kebijakan maupun pelaksana pendidikan, mempunyai kewajiban untuk memberikan akses pendidikan bagi difabel, yang harus menccakup tiga unsur penting, yaitu: 1) Kesamaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan; 2) Pelaksanaan sistem pembelajaran yang adaptif sesuai dengan kondisi peserta didik; dan 3) Penyampaian materi yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Namun apakah pelaksanaan sistem pendidikan inklusi di Indonesia pada umumnya dan di Yogyakarta pada khususnya sudah mencakup tiga unsur penting tersebut? Berikut penulis akan mengajak pembaca untuk menyimak sepotong kisah dari seorang difabel yang tahun ini memutuskan untuk melanjutkan studinya di Sekolah inklusi.


Dyah Witaasoka adalah seorang gadis tunanetra yang mulai tahun ajaran 2009-2010 memutuskan untuk melanjutkan studinya di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Gadis yang akrab dipanggil Wiwit ini sebelumnya pernah bersekolah pada jenjang pendidikan yang sama di SLB Panti Rehabilitasi Cacat Netra (PRCN) Pelembang sampai kelas XI SMA. Keputusan tersebut diambil setelah dia mengetahui bahwa ijasah SLB tidak dapat digunakan untuk melanjutkan studi sampai perguruan tinggi. Hal ini sangat bertolak-belakang dengan cita-citanya yang ingin menuntaskan studinya minimal pada jenjang strata satu. Bagi dia meraih prestasi dalam bidang pendidikan merupakan salah satu opsesi terbesar dalam hidupnya. Sebelum menginjakan kakinya di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta dia pernah mempunyai sedikit rasa takut terkait dengan kondisi teman-temannya di sekolah. Menurut dia, seseorang ketika berusia 16-20 tahun mempunyai karakter yang cenderung egois. Oleh karena itu, dia merasa takut jika kedatangannya nanti tidak mendapat respon yang positif dari mereka. Namun rasa takut itu ternyata dapat dikalahkan oleh tekadnya yang pantang menyerah untuk meraih prestasi dalam dunia pendidikan.


Masa-masa awal menjalani pendidikan di sekolah inklusi merupakan detik-detik yang menegangkan. Gadis kelahiran Palembang, 27 Maret 1989 ini merasa sangat terasing dengan kondisi sekolahnya yang baru. Selain karena belum mengenal lingkungan sekolah seutuhnya, gadis yang mengalami ketunanetraan sejak duduk di bangku kelas 1 SMA ini juga merasa tidak nyaman dengan tabiat teman-temannya, di kelas. Disamping itu, dia juga harus menyesuaikan diri dengan metode yang diterapkan oleh para guru di kelas. Menurutnya, sebenarnya metode pembelajaran di SLB lebih sesuai bagi dirinya ketimbang metode pembelajaran di sekolah inklusi. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya fasilitas yanng mewadahi untuk menunjang belajarnya di kelas. Sebagai contoh adanya guru yang tidak bisa memahami keadaan siswanya yang difabel dan sebagainya. Dalam hal ini penulis menambahkan bahwa ketidak siapan guru dalam mengajar siswanya yang difabel lebih disebabkan karena sebelumnya mereka memang belum pernah mendapatkan mata pelajaran atau mata kuliah yang membahas tentang difabilitas, sehingga ketika di lapangan mereka harus menghadapi siswa yang difabel mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.


Ketika ditanya oleh penulis mengenai penilaiannya tentang pelaksanaan sistem pendidikan inklusi yang dia alami, dia memaparkan bahwa pelaksanaan sistem pendidikan inklusi masih jauh dari harapan. Masih banyak hal yang harus diperbaiki, terutama dari sisi pelayanan, fasilitas, dan tujuan pendidikan inklusi itu sendiri yang masih perlu untuk ditinjau ulang. Sebab hal tersebut ternyata masih sangat jauh dengan klausul yang tertera dalam peraturan walikota no 47 tahun 2008 tentang "Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi" babII pasal 2 yang berbunyi: "maksud penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah: menyelenggarakan pelayanan pendidikan melalui proses pembelajaran yang mewadai bagi peserta didik yang berlatar belakang dan berkebutuhan berbeda-beda dalam suatu satuan pendidikan." Namun, meskipun pada kenyataannya pendidikan inklusi masih jauh dengan apa yang diidam-idamkannya, bagi gadis berusia 20 tahun ini hidup tetap berjalan, dan harus dijalani sesuai dengan moto hidupnya: "Tetap semangat menjalani apapun. Lukislah hidupmu dengan senyum yang indah dari hatimu."



Tentang Penulis

Penulis adalah seorang tunanetra, saat ini belajar di jurusan sastra arab UIN Sunan Kalijaga, dan juga aktif sebagai staf research dan advokasi di Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)

Read More..

Saturday, 4 July 2009

POSISION PAPER DIFABEL KABUPATEN KULONPROGO

title>

Tulisan ini merupakan sebuah pembacaan alternative terhadap permasalahan difabel yang berhasil dihimpun berdasarkan diskusi-diskusi bersama kelompok masyarakat difabel, sepanjang berlangsungnya program pendidikan politik yang diselenggarakan oleh SIGAB, dengan didukung oleh Yayasan Tifa. Diharapkan melalui pembacaan alternative ini, pembaca akan dapat lebih memahami difabel dan permasalahannya secara lebih obyektif dan menempatkan difabel sebagai kelompok yang mestinya diutamakan sebagai pihak yang seharusnya ditempatkan sebagai subyek terhadap penyelesaian permasalahan mereka.

Klarifikasi pengistilahan difabel

Istilah difabel (akronim dari different able people) yang secara bahasa berarti “orang dengan kemampuan berbeda” merupakan istilah baru pengganti pistilah “penyandang cacat” yang selama ini banyak digunakan. Istilah ini mencoba keluar dari konotasi negative dan stigma yang selama ini tidak dapat dihindari dari penggunaan istilah cacat. Disamping itu, istilah difabel juga mengakomodasi keyakinan bahwa tuhan telah menciptakan setiap hambanya dalam bentuk yang paling sempurna. Dengan meminjam “The Social Model of Disability” (Barnes, 1996), dan “Bio Psycho Social Model of Disability” (WHO, 2000), istilah difabel secara bebas dapat didefinisikan sebagai “seseorang dengan perbedaan kemampuan fisik atau mental, yang atas interaksinya dengan factor individu lainnya serta berbagai factor lingkungan social, mengalami hambatan yang signifikan untuk dapat beraktifitas sebagaimana layaknya, yang selanjutnya menghambat partisipasi sosialnya dalam konteks yang lebih luas”. Meski belumlah merupakan suatu kesepakatan bersama, setidaknya definisi ini dapat menjadi pembanding atas pengertian-pengertian yang telah banyak dipergunakan dalam berbagai institusi maupun produk hukum/peraturan yang telah ada terkait dengan difabel.

Peta Demografi dan Permasalahan

Berdasarkan data dinas social provinsi DIY tahun 2007, jumlah difabel di DIY setidaknya mencapai angka 42.000 (empat puluh dua ribu) orang, dengan persebaran di kabupaten Kulon Progo mencapai 6.000 dan selebihnya tersebar di kabupaten / kota lain di DIY. Diasumsikan, jumlah sebenarnya masih lebih banyak dibanding data yang ada, mengingat bahwa pendataan difabel sejauh ini seperti halnya gunung es yang hanya muncul di permukaan saja dan hingga saat ini, diyakini belum ada data falid mengenai jumlah difabel. Dari jumlah di atas, 70% dari difabel usia produktif tidak mempunyai pekerjaan. Sedangkan sisanya (30%) tersebar pada sector-sektor pekerjaan seperti serabutan, buruh pabrik/penyedia jasa, serta pegawai negeri. Sementara itu, sebagaimana dilangsir oleh sebuah berita online (http://www.eltirafm.com/news/news.php?extend.904), tingkat akses pendidikan bagi anak-anak difabel pun masih sangat rendah. Dari sekitar 5.000 jumlah anak berkebutuhan khusus, baru sekitar 60% yang dapat tertampung pada 62 SLB dan 70 sekolah inklusi di DIY. Sisanya masih belum tertampung di lembaga pendidikan manapun. Ironisnya, anggaran pendidikan bagi ABK, terutama yang dialokasikan pada sekolah-sekolah luar biasa terus meningkat dari tahun ke tahun tanpa dibarengi adanya peningkatan kualitas pendidikan bagi anak-anak difabel.

Data di atas hanyalah sedikit bukti yang menggambarkan bahwa secara structural, difabel belumlah memperoleh apa yang mestinya menjadi hak dan kebutuhan mereka. Masalah-masalah yang tergambar dari data tersebut seperti dalam hlal pendidikan dan akses lapangan kerja misalnya, tentu tidak muncul begitu saja. Ada sebuah struktur dan system, yang baik secara langsung maupun tidak, telah membentuk dan menjadi sebab terjadinya permasalahan tersebut.

Masalah Pendidikan

Dalam hal pendidikan, banyaknya anak-anak difabel yang tidak tertampung pada sekolah, baik itu SLB maupun sekolah umum, jelas berkorelasi terhadap system pendidikan yang diberlakukan. Sistem segregasi seperti yang diterapkan dalam bentuk sekolah luar biasa (SLB), terbukti mempunyai banyak keterbatasan, yang diantaranya adalah jarak/lokasi yang jauh dari tempat tinggal anak, biaya operasional dan penyelenggaraan yang mahal, serta jarang disediakan tempat tinggal/asrama bagi siswa. Keterbatasan tersebut dengan sendirinya telah menyebabkan tingkat kesulitan yang tinggi bagi anak difabel untuk dapat bersekolah di sekolah-sekolah luar biasa. Belum lagi kalau berbicara tentang kurikulum, kualitas pembelajarannya dan kualitas lulusannya. Hingga sekarang ini, lulusan sekolah luar biasa tidaklah dihargai sebagaimana lulusan sekolah-sekolah umum yang sederajat.

Meskipun pendidikan inklusi (sebuah system pendidikan yang mengakomodasi anak-anak berkebutuhan khusus untuk bersekolah di sekolah umum) telah mulai diselenggarakan dan dikembangkan, agaknya hal ini tidak dibarengi dengan penyiapan berbagai komponen pendidikan sebagaimana yang seharusnya. Sekolah-sekolah inklusi yang dibuka tidak dibarengi dengan penyiapan guru-guru untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Disamping itu, penyediaan sarana belajar yang aksesibel seperti gedung sekolah, media belajar yang aksesibel juga masih terlupakan dalam pengembangan dan penyelenggaraan sekolah inklusi. Sementara itu, di luar permasalahan di atas, mahalnya biaya pendidikan bagi difabel juga menjadi hal lain yang patut diperhatikan.

Sementara, pada sector pendidikan non formal, program-program yang ditawarkan telah tidak lagi mampu menjawab kebutuhan difabel akan keterampilan praktis siap kerja. Disamping frequensi pelatihannya yang masih minim, jenis pelatihan yang ditawarkan juga telah tidak lagi mengikuti kebutuhan dunia kerja. Di saat dunia kerja sudah merambah generasi multi media dan computer, pelatihan-pelatihan bagi difabel masih berhenti pada menjahit, pertukangan dan sablon. Pada akhirnya, lulusannya hanyalah kembali menjadi buruh yang tidak lagi up to date dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar kerja. Belum lagi jika melihat testimony beberapa difabel yang merasakan dan mengetahui persis bagaimana pelatihan-pelatihan semacam itu diselenggarakan hanya sebagai proyek pemerintah semata. Sungguh hal tersebut merupakan kenyataan bahwa difabel, sejauh ini masih ditempatkan sebatas obyek, dan bukan subyek yang mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka.

Akses Lapangan Kerja

Sampai saat ini, akses difabel pada lapangan kerja formal masih belum sepenuhnya terbuka. Dalam banyak kasus yang SIGAB temui sepanjang tahun 2003 – 2009, persyaratan pada dunia kerja formal masih belum berpihak pada difabel. Persyaratan seperti sehat jasmani, yang diartikan sebagai tidak cacat/difabel, yang sebenarnya tidak selalu berkait dengan kompetensi kerja yang dibutuhkan, seringkali menjadi alasan untuk menolak difabel memasuki dunia kerja. Hal ini terjadi baik di lingkungan pemerintahan (pegawai negeri) maupun di lingkungan swasta.


Sedangkan pada sector dunia kerja/usaha non formal, program-program pengembangan usaha yang ada dirasa tidak mampu menjawab kebutuhan difabel. Sulitnya akses financial seperti kredit usaha, penguatan modal, serta akses pengembangan usaha seperti pemasaran dan lain-lain, masih menjadi kendala utama bagi kelompok difabel yang bergerak di dunia usaha kecil.

Kesehatan

Disadari bahwa kesehatan merupakan hak dasar warga Negara. Artinya, dalam kondisi dimana seorang warga Negara tidak mampu mengupayakannya, maka sudah menjadi kewajiban Negara untuk memenuhinya. Sebuah langkah maju adalah bahwa pada saat sekarang ini, telah ada beberapa skema jaminan kesehatan yang diselenggarakan untuk rakyat seperti JAMKESMAS, JAMKESSOS dan JAMKESDA. Namun, dari pengalaman yang dirasakan oleh difabel, jaminan-jaminan kesehatan tersebut ternyata tidak mampu menjawab kebutuhan kesehatan difabel. Salah satu masalahnya adalah terbatasnya item-item obat dan treatment yang ditanggung, sementara penyakit yang melanda tidak pernah mau peduli apakah yang menyandangnya orang miskin atau kayaJ.

Meski di Indonesia belum ada suatu penelitian mengenai tingkat kerawanan kesehatan bagi difabel, namun diyakini bahwa pada tingkat difabilitas tertemtu, tingkat kerawanannya akan jauh lebih tinggi dibanding yang non difabel. Sebut saja kawan-kawan dengan paraplegi, setiap bulannya mereka membutuhkan perawatan kesehatan dan biaya-biaya medis yang tidak bisa ditangguhkan. Artinya, jika dengan penghasilan yang menurut kategori yang saat ini berlaku, mereka tidak dikategorikan sebagai masyarakat miskin, tetapi setelah dikurangi dengan biaya-biaya kesehatan yang rutin harus mereka keluarkan, bisa jadi penghasilan mereka tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.

Melihat permasalahan di atas, jelas bahwa jaminan kesehatan yang sudah ada belum dirasa mampu menjawab kebutuhan difabel akan jaminan kesehatan, dan untuk itu, perlu dikembangkan sebuah mekanisme jaminan kesehatan yang sensitive difabel dan mampu menjawab kebutuhan rakyat akan jaminan kesehatan.

Aksesibilitas fisik

Sampai sejauh ini, perhatian pemerintah terhadap terpenuhinya aksesibilitas fisik yang meliputi bangunan-bangunan dan sarana publik seperti kantor-kantor pelayanan masyarakat, rumah sakit, kendaraan umum dan fasilitas umum lainnya masih belum jelas terlihat. Meski beberapa peraturan telah memayungi hal tersebut seperti KEPMEN PU No 468, bahkan, di salah satu kabupaten di DIY telah ada PERDA no 12, tahun 2002, namun pelaksanaannya belum terlihat. Bahkan pada bangunan-bangunan dan sarana-sarana umum yang baru sekalipun, prinsip-prinsip aksesibilitas masih belum diimplementasikan sebagaimana mestinya. Tentu, diyakini bahwa kita sudah melewati masa untuk mempertanyakan sejauh mana pentingnya hal tersebut bagi difabel dan kelompok rentan fisik lainnya seperti lansia, ibu hamil dan anak-anak, sehingga yang lebih penting didiskusikan adalah upaya-upaya untuk merealisasikan hal tersebut pada tataran praktis.

Solusi / Rekomendasi

Permasalahan di atas tentulah tidak cukup mewakili banyaknya permasalahan yang terjadi pada kelompok masyarakat difabel, tetapi paling tidak telah mencakup sebagian besar dari permasalahan yang nyata-nyata terjadi dan dihadapi. Dari rangkaian permasalahan di atas, untuk sampai pada tataran rekomendasi solusi yang mungkin untuk ditempuh, sangat penting untuk mengenali stake holders yang terlibat dan turut mengambil peran. SIGAB mengkategorikan kelompok stake holder ini ke dalam beberapa bagian. Yang pertama adalah perumus dan pembuat kebijakan yang dalam hal ini adalah legislatif/DPRD, yang ke dua adalah pelaksana kebijakan di tingkat strategis yaitu eksekutif, sedangkan yang ke tiga adalah pelaksana pada tingkatan praktis/teknis seperti sekolah-sekolah, BlK, LBK, maupun pelaksana-pelaksana program pemerintah lainnya yang ditunjuk.

Setelah melihat permasalahan di atas, ada beberapa rekomendasi strategis yang mungkin untuk dilakukan yang diantaranya adalah:


  1. Meningkatkan partisipasi difabel dalam penyusunan berbagai kebijakan.
  2. Dengan melihat uraian di atas, banyaknya permasalahan yang muncul lebih dikarenakan kurangnya keterlibatan difabel dalam berbagai pengambilan keputusan dan kebijakan. Mereka masih cenderung diposisikan sebagai obyek yang cukup menerima tanpa diajak berbicara mengenai hal-hal yang penting dan menjadi kebutuhan mereka. Pendekatan inilah yang harus diubah. Difabel harus diposisikan sebagai kelompok yang lebih mengetahui yang terbaik bagi mereka, dan karenanya, ruang-uang partisipasi bagi difabel harus dibuka di tingkat pengambil kebijakan. Dalam hal ini, organisasi-organisasi difabel, barangkali bisa menjadi infrastruktur yang akan secara efektif menampung aspirasi para anggotanya, yang selanjutnya dapat disuarakan di tingkat pengambil kebijakan.

    Dengan pendekatan partisipatif, yang menempatkan difabel sebagai subyek yang memahami betul akan kepentingan dan kebutuhannya, setidaknya para perumus kebijakan mesti mulai berkonsultasi dan memperhatikan suara dan aspirasi difabel pada proses-proses seperti perumusan kebijakan, penyusunan anggaran, serta proses-proses lain yang strategis dan terkait dengan kepentingan public.

  3. Penguatan masyarakat sipil difabel.
  4. Disadari bahwa difabel adalah kelompok yang paling memahami permasalahan mereka. Untuk itu, suara dan aspirasi difabel harus lebih dapat didengar di tingkat pembuat kebijakan. Untuk itu, di kalangan internal difabel sendiri harus memiliki kemampuan dan kapasitas yang cukup dalam memperjuangkannya. Tak cukup dengan organisasi yang telah ada, tetapi soliditas perjuangan difabel antar organisasi juga menjadi bekal yang akan sangat berarti. Dalam hal ini, adalah merupakan tugas agen-agen pemerintah serta organisasi-organisasi masyarakat sipil dan non pemerintah untuk turut berkonsentrasi pada upaya-upaya penguatan masyarakat sipil dan organisasi-organisasi difabel.

  5. Membangun kesadaran di tingkat perencana dan pelaksana kebijakan terkait dengan perspektif dan pemahaman mengenai difabel.
  6. Sering kali, perjuangan difabel untuk memperoleh hak dan kebutuhan mereka terganjal bukan karena ketidak mampuan pemerintah untuk mengakomodasinya, tetapi lebih karena ketidak tahuan dan rendahnya pemahaman. Dalam perencanaan sebuah sarana transportasi yang baru-baru ini terjadi di Yogyakarta misalnya, tuntutan difabel akan sarana yang aksesibel tidak dapat sepenuhnya diakomodasi dan lebih dikarenakan ketidak pahaman para pelaksana yang terlibat. Padahal, jika diperhitungkan, biaya tambahan dari pengadaan sarana yang aksesibel tersebut tidak lebih dari 10% dari total biaya pembangunannya.

    Untuk itu, peningkatan pemahaman terkait dengan perspektif difabel di tingkat pengambil kebijakan serta pelaksananya menjadi hal yang sangat penting. Hal ini dapat ditempuh dengan berbagai cara. Yang pertama adalah training perspektif difabel secara berkala di tingkat pemerintah dan legislative. Yang ke dua adalah dengan pelibatan dan interaksi dengan kelompok difabel dalam berbagai pengambilan keputusan.

  7. Menjawab banyaknya permasalahan yang masih ada pada isu-isu hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, penyediaan aksesibilitas fisik dan lapangan kerja, perlu ditempuh beberapa langkah praktis dan strategis. Langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

    • Dalam hal pendidikan, implementasi pendidikan inklusi perlu didorong oleh pemerintah daerah dengan dukungan dewan melalui upaya-upaya penyiapan komponen pendidikan berupa pelatihan guru-guru terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi, penyediaan bahan dan sumber belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa, serta pembangunan infra struktur pembelajaran yang aksesibel.
    • Bersama difabel, legislative beserta eksekutif perlu duduk bersama untuk meninjau kembali program-program terkait dengan upaya pemberdayaan difabel agar benar-benar disusun dan diimplementasikan berdasarkan kebutuhan difabel.
    • Mengalokasikan anggaran yang proporsional dalam rangka menunjang ke dua maksud di atas.


Adapun pada wilayah strategis, yang harus dilakukan adalah menjamin terpenuhinya hak dasar difabel melalui sebuah peraturan daerah yang bersifat mengikat seluruh komponen daerah yang ada. Hal-hal praktis seperti pengalokasian anggaran serta penyusunan program pemerintah hanyalah merupakan langkah praktis yang tidak dapat dipastikan keberlanjutannya, sedangkan untuk kepentingan jangka panjang, paying hukum berupa peraturan daerah menjadi suatu hal yang sangat penting dan dibutuhkan.

Read More..

Friday, 3 July 2009

PERS RELEASE KONSULTASI PUBLIK DENGAN ANGGOTA DPRD SLEMAN TERPILIH KAMIS, 2 JULI 2009

Dalam rangka membina forum komunikasi antara difabel dengan anggota dewan terpilih di daerah Sleman, Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab) mengadakan kegiatan konsultasi public yang dihadiri oleh caleg terpilih dengan perwakilan-perwakilan organisasi difabel yang dilaksanakan pada hari Kamis, 2 Juli 2009 di gedung Op Room Pemda kabupaten Sleman. Acara ini dihadiri oleh 48 perwakilan dari organisasi-organisasi difabel di kabupaten Sleman dan 4 anggota DPR terpilih kabupaten Sleman. Di antara para anggota dewan terpilih yang hadir adalah Nur Sasongko (PAN), Sofyan S. Darman (PKS), Ngabidah (Demokrat), dan Huda (PKS).

Dalam acara ini para perwakilan dari organisasi-organisasi difabel diberi kesempatan untuk menyampaikan berbagai permasalahan-permasalahan yang dialami oleh difabel. Mereka banyak mengungkapkan masalah-masalah dalam bidang pendidikan, seperti adanya kesempatan masuk sekolah yang dibatasi, biaya pendidikan yang terlalu tinggi dan sebagainya. Disamping itu, mereka juga banyak mengungkapkan permasalahan-permasalahan seputar kesehatan, seperti adanya jaminan kesehatan yang pada kenyataannya sulit diakses untuk semua kalangan dan sebagainya. Menurut direktur Sigab, M. Joni Yulianto, S.Pd. M.A menyatakan bahwa ada empat hal yang harus diperjuangkan terkait dengan isu-isu difabel yaitu: pendidikan, kesehatan, ketenaga kerjaan dan aksesibilitas.

Ketika diwawancarai, M. Joni Yulianto, S.Pd. M.A juga menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan langkah awal untuk membina komunikasi yang baik antara anggota DPRD Sleman dengan kaum difabel. Namun sangat disayangkan, dari jumlah anggota DPRD yang diundang sejumlah 35 orang hanya ada 4 anggota DPRD yang hadir. Sementara dari jumlah difabel yang diundang sejumlah 100 orang hanya 48 orang yang hadir. Hal ini menunjukan belum adanya komitmen yang kuat dari pihak DPRD maupun difabel untuk bersama-sama membangun suatu tatanan kehidupan yang aksesibel bagi semua orang. Jika dibandingkan jumlah anggota DPRD yang hadir ketika itu dengan jumlah difabel yang hadir adalah 48% berbanding 11.42%. Hal ini menunjukan bahwa jumlah difabel yang hadir atau mempunyai komitmen lebih banyak daripada anggota DPRD. Namun kita perlu menggaris bawahi bahwa lebih banyaknya jumlah difabel yang hadir daripada anggota dewan lebih diakibatkan oleh karena mereka memang mempunyai kepentingan dengan anggota dewan. Read More..

Wednesday, 11 March 2009

Pers Release Dialog Publik Jelang PEMILU 2009 Kabupaten Kulonprogo Menyoal Perspektif dan Keberpihakan CALEG Terhadap Aspirasi Difabel

Sekitar satu bulan lagi, prosesi pemungutan suara akan segera berlangsung. Momen perwujudan demokrasi ini menjadi hal yang sangat penting bagi rakyat Indonesia karena pada momen inilah mereka yang menjadi wakil rakyat akan dipilih. Selanjutnya, melalui mereka yang terpilih inilah, kebijakan akan dilahirkan untuk selanjutnya dilaksanakan oleh eksekutif.

Bagi difabel, momen pesta demokrasi ini justru menyisakan kekhawatiran. Pasalnya, semakin dekat dengan pelaksanaan PEMILU, hampir tidak ada calon legislatif yang mampu meyakinkan difabel akan keberpihakannya terhadap isu-isu dan kepentingan difabel. Bahkan, dalam kenyataannya, difabel cenderung diperlakukan sebagai pemilih pasif, yang hanya didekati untuk dimintai dukungan suara tanpa didengar aspirasi mereka. Hal ini merupakan indikasi dari sebuah pesta demokrasi yang tidak sehat, dimana difabel sebagai calon pemilih tak mempunyai posisi tawar terhadap siapa yang akan mereka pilih. Jika ini terus terjadi, maka difabel akan selalu dilupakan dan tak punya ruang dalam mainstream politik dan pengambilan keputusan.

Advokasi terkait dengan pemenuhan hak-hak difabel merupakan kerja panjang yang melibatkan banyak pihak, termasuk didalamnya adalah lembaga pembuat kebijakan seperti legislatif yang akan kita pilih dalam waktu dekat ini. Keberpihakan mereka terhadap isu-isu difabel akan menjadi faktor penting terhadap terwujudnya pemenuhan hak-hak difabel di Indonesia, khususnya di kabupaten Kulonprogo ini. Jika para wakil rakyat saja tak tahu apa yang menjadi kepentingan dan permasalahan difabel, bagaimana mereka akan dapat berpihak dan memperjuangkan kepentingan difabel?

Untuk menjawab kekhawatiran ini, Sasana Integrasi Dan Advokasi Difabel (SIGAB), bekerja sama dengan organisasi-organisasi difabel di kabupaten Kulonprogo akan menggelar dialog publik jelang PEMILU kabupaten Kulonprogo dengan tema “Menyoal Perspektif dan Keberpihakan CALEG Terhadap Aspirasi Difabel”. Kegiatan ini akan digelar pada hari Kamis, 12 Maret 2009, pukul 08.30, bertempat di gedung pertemuan balai desa Sendangsari, Pengasih, Kulonprogo, Yogyakarta.

Melalui dialog ini diharapkan para calon legislatif akan lebih memahami aspirasi dan permasalahan difabel yang dapat mereka perjuangkan, sehingga akan muncul komitmen dan dukungan dari para calon legislatif untuk memperjuangkan isu-isu difabel ketika mereka terpilih nantinya. Dalam dialog ini juga akan dirumuskan kontrak politik antara difabel dan para calon legislatif sebagai wujud komitmen dan keterikatan moral mereka untuk benar-benar memperjuangkan hak-hak difabel.

Yogyakarta, 4 Maret 2009



M. Joni Yulianto M.A
Direktur SIGAB Read More..

Wednesday, 4 March 2009

Pers Release Dialog Publik Jelang PEMILU Kab Sleman "Menyoal Keberpihakan Caleg Terhadap Aspirasi Difabel"

Pers Release

Dialog Publik Jelang PEMILU 2009 Kabupaten Sleman

Menyoal Perspektif dan Keberpihakan CALEG Terhadap Aspirasi Difabel

Sekitar satu bulan lagi, prosesi pemungutan suara akan segera berlangsung. Momen perwujudan demokrasi ini menjadi hal yang sangat penting bagi rakyat Indonesia karena pada momen inilah mereka yang menjadi wakil rakyat akan dipilih. Selanjutnya, melalui mereka yang terpilih inilah, kebijakan akan dilahirkan untuk selanjutnya dilaksanakan oleh eksekutif.

Bagi difabel, momen pesta demokrasi ini justru menyisakan kekhawatiran. Pasalnya, semakin dekat dengan pelaksanaan PEMILU, hampir tidak ada calon legislatif yang mampu meyakinkan difabel akan keberpihakannya terhadap isu-isu dan kepentingan difabel. Bahkan, dalam kenyataannya, difabel cenderung diperlakukan sebagai pemilih pasif, yang hanya didekati untuk dimintai dukungan suara tanpa didengar aspirasi mereka. Hal ini merupakan indikasi dari sebuah pesta demokrasi yang tidak sehat, dimana difabel sebagai calon pemilih tak mempunyai posisi tawar terhadap siapa yang akan mereka pilih. Jika ini terus terjadi, maka difabel akan selalu dilupakan dan tak punya ruang dalam mainstream politik dan pengambilan keputusan.

Advokasi terkait dengan pemenuhan hak-hak difabel merupakan kerja panjang yang melibatkan banyak pihak, termasuk didalamnya adalah lembaga pembuat kebijakan seperti legislatif yang akan kita pilih dalam waktu dekat ini. Keberpihakan mereka terhadap isu-isu difabel akan menjadi faktor penting terhadap terwujudnya pemenuhan hak-hak difabel di Indonesia, khususnya di kabupaten Sleman ini. Jika para wakil rakyat saja tak tahu apa yang menjadi kepentingan dan permasalahan difabel, bagaimana mereka akan dapat berpihak dan memperjuangkan kepentingan difabel?

Untuk menjawab kekhawatiran ini, Sasana Integrasi Dan Advokasi Difabel (SIGAB), bekerja sama dengan organisasi-organisasi difabel di kabupaten Sleman akan menggelar dialog publik jelang PEMILU kabupaten Sleman dengan tema “Menyoal Perspektif dan Keberpihakan CALEG Terhadap Aspirasi Difabel”. Kegiatan ini akan digelar pada hari Kamis, 5 Maret 2009, pukul 08.30, bertempat di Op Room, Jl. Candi Boko, Beran, Tridadi, Sleman, Yogyakarta (sebelah utara lapangan PEMDA Sleman Yogyakarta).

Melalui dialog ini diharapkan para calon legislatif akan lebih memahami aspirasi dan permasalahan difabel yang dapat mereka perjuangkan, sehingga akan muncul komitmen dan dukungan dari para calon legislatif untuk memperjuangkan isu-isu difabel ketika mereka terpilih nantinya. Dalam dialog ini juga akan dirumuskan kontrak politik antara difabel dan para calon legislatif sebagai wujud komitmen dan keterikatan moral mereka untuk benar-benar memperjuangkan hak-hak difabel.

Yogyakarta, 4 Maret 2009



M. Joni Yulianto M.A
Direktur SIGAB Read More..