Daftar Isi

WELCOME TO THIS BLOG

Tuesday 11 August 2009

TETAP SEMANGAT MENGHADAPI APAPUN

Ditulis oleh Hendro Sugiono Wibowo

hendro.sw@gmail.com

Pendidikan inklusi merupakan suatu system pendidikan yang mana dalam pelaksanaan proses pembelajarannya selalu diselaraskan dengan kondisi peserta didiknya. Kondisi tersebut mencakup dua aspek yaitu aspek fisik dan non fisik. Dalam peraturan walikota Yogyakarta no 47 tahun 2008 tentang "Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi" bab I pasal 1 dijelaskan bahwa pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan national yang menyertakan semua anak secara bersama-sama dalam suatu iklim dan proses pembelajaran dengan layanan pendidikan yang layak dan sesuai dengan potensi, kemampuan, kondisi, dan kebutuhan individu peserta didik tanpa membeda-bedakan latar belakang kondisi sosial, ekonomi, politik, suku, bahasa, jenis kelamin, agama atau kepercayaan, serta perbedaan kondisi fisik maupun mental. Hal ini sangat sejalan dengan Undang-undang no 4 tahun 1997 tentang "Panyandang Cacat" bab III pasal 6 point perttama yang menerangkan bahwa setiap penyandang cacat (difabel) berhak memperoleh pendidikan pada semua satuan, jalur, dan jenjang pendidikan. Pasal ini jika dikaji lebih dalam lagi secara implisit mengandung pengertian bahwa masyarakat, terutama pemerintah dan pihak-pihak pemegang kebijakan maupun pelaksana pendidikan, mempunyai kewajiban untuk memberikan akses pendidikan bagi difabel, yang harus menccakup tiga unsur penting, yaitu: 1) Kesamaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan; 2) Pelaksanaan sistem pembelajaran yang adaptif sesuai dengan kondisi peserta didik; dan 3) Penyampaian materi yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Namun apakah pelaksanaan sistem pendidikan inklusi di Indonesia pada umumnya dan di Yogyakarta pada khususnya sudah mencakup tiga unsur penting tersebut? Berikut penulis akan mengajak pembaca untuk menyimak sepotong kisah dari seorang difabel yang tahun ini memutuskan untuk melanjutkan studinya di Sekolah inklusi.


Dyah Witaasoka adalah seorang gadis tunanetra yang mulai tahun ajaran 2009-2010 memutuskan untuk melanjutkan studinya di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Gadis yang akrab dipanggil Wiwit ini sebelumnya pernah bersekolah pada jenjang pendidikan yang sama di SLB Panti Rehabilitasi Cacat Netra (PRCN) Pelembang sampai kelas XI SMA. Keputusan tersebut diambil setelah dia mengetahui bahwa ijasah SLB tidak dapat digunakan untuk melanjutkan studi sampai perguruan tinggi. Hal ini sangat bertolak-belakang dengan cita-citanya yang ingin menuntaskan studinya minimal pada jenjang strata satu. Bagi dia meraih prestasi dalam bidang pendidikan merupakan salah satu opsesi terbesar dalam hidupnya. Sebelum menginjakan kakinya di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta dia pernah mempunyai sedikit rasa takut terkait dengan kondisi teman-temannya di sekolah. Menurut dia, seseorang ketika berusia 16-20 tahun mempunyai karakter yang cenderung egois. Oleh karena itu, dia merasa takut jika kedatangannya nanti tidak mendapat respon yang positif dari mereka. Namun rasa takut itu ternyata dapat dikalahkan oleh tekadnya yang pantang menyerah untuk meraih prestasi dalam dunia pendidikan.


Masa-masa awal menjalani pendidikan di sekolah inklusi merupakan detik-detik yang menegangkan. Gadis kelahiran Palembang, 27 Maret 1989 ini merasa sangat terasing dengan kondisi sekolahnya yang baru. Selain karena belum mengenal lingkungan sekolah seutuhnya, gadis yang mengalami ketunanetraan sejak duduk di bangku kelas 1 SMA ini juga merasa tidak nyaman dengan tabiat teman-temannya, di kelas. Disamping itu, dia juga harus menyesuaikan diri dengan metode yang diterapkan oleh para guru di kelas. Menurutnya, sebenarnya metode pembelajaran di SLB lebih sesuai bagi dirinya ketimbang metode pembelajaran di sekolah inklusi. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya fasilitas yanng mewadahi untuk menunjang belajarnya di kelas. Sebagai contoh adanya guru yang tidak bisa memahami keadaan siswanya yang difabel dan sebagainya. Dalam hal ini penulis menambahkan bahwa ketidak siapan guru dalam mengajar siswanya yang difabel lebih disebabkan karena sebelumnya mereka memang belum pernah mendapatkan mata pelajaran atau mata kuliah yang membahas tentang difabilitas, sehingga ketika di lapangan mereka harus menghadapi siswa yang difabel mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.


Ketika ditanya oleh penulis mengenai penilaiannya tentang pelaksanaan sistem pendidikan inklusi yang dia alami, dia memaparkan bahwa pelaksanaan sistem pendidikan inklusi masih jauh dari harapan. Masih banyak hal yang harus diperbaiki, terutama dari sisi pelayanan, fasilitas, dan tujuan pendidikan inklusi itu sendiri yang masih perlu untuk ditinjau ulang. Sebab hal tersebut ternyata masih sangat jauh dengan klausul yang tertera dalam peraturan walikota no 47 tahun 2008 tentang "Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi" babII pasal 2 yang berbunyi: "maksud penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah: menyelenggarakan pelayanan pendidikan melalui proses pembelajaran yang mewadai bagi peserta didik yang berlatar belakang dan berkebutuhan berbeda-beda dalam suatu satuan pendidikan." Namun, meskipun pada kenyataannya pendidikan inklusi masih jauh dengan apa yang diidam-idamkannya, bagi gadis berusia 20 tahun ini hidup tetap berjalan, dan harus dijalani sesuai dengan moto hidupnya: "Tetap semangat menjalani apapun. Lukislah hidupmu dengan senyum yang indah dari hatimu."



Tentang Penulis

Penulis adalah seorang tunanetra, saat ini belajar di jurusan sastra arab UIN Sunan Kalijaga, dan juga aktif sebagai staf research dan advokasi di Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar anda.