title>
Klarifikasi pengistilahan difabel
Peta Demografi dan Permasalahan
Masalah Pendidikan
Akses Lapangan Kerja
Kesehatan
Disadari bahwa kesehatan merupakan hak dasar warga Negara. Artinya, dalam kondisi dimana seorang warga Negara tidak mampu mengupayakannya, maka sudah menjadi kewajiban Negara untuk memenuhinya. Sebuah langkah maju adalah bahwa pada saat sekarang ini, telah ada beberapa skema jaminan kesehatan yang diselenggarakan untuk rakyat seperti JAMKESMAS, JAMKESSOS dan JAMKESDA. Namun, dari pengalaman yang dirasakan oleh difabel, jaminan-jaminan kesehatan tersebut ternyata tidak mampu menjawab kebutuhan kesehatan difabel. Salah satu masalahnya adalah terbatasnya item-item obat dan treatment yang ditanggung, sementara penyakit yang melanda tidak pernah mau peduli apakah yang menyandangnya orang miskin atau kayaJ.
Meski di Indonesia belum ada suatu penelitian mengenai tingkat kerawanan kesehatan bagi difabel, namun diyakini bahwa pada tingkat difabilitas tertemtu, tingkat kerawanannya akan jauh lebih tinggi dibanding yang non difabel. Sebut saja kawan-kawan dengan paraplegi, setiap bulannya mereka membutuhkan perawatan kesehatan dan biaya-biaya medis yang tidak bisa ditangguhkan. Artinya, jika dengan penghasilan yang menurut kategori yang saat ini berlaku, mereka tidak dikategorikan sebagai masyarakat miskin, tetapi setelah dikurangi dengan biaya-biaya kesehatan yang rutin harus mereka keluarkan, bisa jadi penghasilan mereka tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.
Melihat permasalahan di atas, jelas bahwa jaminan kesehatan yang sudah ada belum dirasa mampu menjawab kebutuhan difabel akan jaminan kesehatan, dan untuk itu, perlu dikembangkan sebuah mekanisme jaminan kesehatan yang sensitive difabel dan mampu menjawab kebutuhan rakyat akan jaminan kesehatan.
Aksesibilitas fisik
Sampai sejauh ini, perhatian pemerintah terhadap terpenuhinya aksesibilitas fisik yang meliputi bangunan-bangunan dan sarana publik seperti kantor-kantor pelayanan masyarakat, rumah sakit, kendaraan umum dan fasilitas umum lainnya masih belum jelas terlihat. Meski beberapa peraturan telah memayungi hal tersebut seperti KEPMEN PU No 468, bahkan, di salah satu kabupaten di DIY telah ada PERDA no 12, tahun 2002, namun pelaksanaannya belum terlihat. Bahkan pada bangunan-bangunan dan sarana-sarana umum yang baru sekalipun, prinsip-prinsip aksesibilitas masih belum diimplementasikan sebagaimana mestinya. Tentu, diyakini bahwa kita sudah melewati masa untuk mempertanyakan sejauh mana pentingnya hal tersebut bagi difabel dan kelompok rentan fisik lainnya seperti lansia, ibu hamil dan anak-anak, sehingga yang lebih penting didiskusikan adalah upaya-upaya untuk merealisasikan hal tersebut pada tataran praktis.
Solusi / Rekomendasi
Permasalahan di atas tentulah tidak cukup mewakili banyaknya permasalahan yang terjadi pada kelompok masyarakat difabel, tetapi paling tidak telah mencakup sebagian besar dari permasalahan yang nyata-nyata terjadi dan dihadapi. Dari rangkaian permasalahan di atas, untuk sampai pada tataran rekomendasi solusi yang mungkin untuk ditempuh, sangat penting untuk mengenali stake holders yang terlibat dan turut mengambil peran. SIGAB mengkategorikan kelompok stake holder ini ke dalam beberapa bagian. Yang pertama adalah perumus dan pembuat kebijakan yang dalam hal ini adalah legislatif/DPRD, yang ke dua adalah pelaksana kebijakan di tingkat strategis yaitu eksekutif, sedangkan yang ke tiga adalah pelaksana pada tingkatan praktis/teknis seperti sekolah-sekolah, BlK, LBK, maupun pelaksana-pelaksana program pemerintah lainnya yang ditunjuk.
Setelah melihat permasalahan di atas, ada beberapa rekomendasi strategis yang mungkin untuk dilakukan yang diantaranya adalah:
- Meningkatkan partisipasi difabel dalam penyusunan berbagai kebijakan.
- Penguatan masyarakat sipil difabel.
- Membangun kesadaran di tingkat perencana dan pelaksana kebijakan terkait dengan perspektif dan pemahaman mengenai difabel.
- Menjawab banyaknya permasalahan yang masih ada pada isu-isu hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, penyediaan aksesibilitas fisik dan lapangan kerja, perlu ditempuh beberapa langkah praktis dan strategis. Langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
- Dalam hal pendidikan, implementasi pendidikan inklusi perlu didorong oleh pemerintah daerah dengan dukungan dewan melalui upaya-upaya penyiapan komponen pendidikan berupa pelatihan guru-guru terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi, penyediaan bahan dan sumber belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa, serta pembangunan infra struktur pembelajaran yang aksesibel.
- Bersama difabel, legislative beserta eksekutif perlu duduk bersama untuk meninjau kembali program-program terkait dengan upaya pemberdayaan difabel agar benar-benar disusun dan diimplementasikan berdasarkan kebutuhan difabel.
- Mengalokasikan anggaran yang proporsional dalam rangka menunjang ke dua maksud di atas.
Dengan melihat uraian di atas, banyaknya permasalahan yang muncul lebih dikarenakan kurangnya keterlibatan difabel dalam berbagai pengambilan keputusan dan kebijakan. Mereka masih cenderung diposisikan sebagai obyek yang cukup menerima tanpa diajak berbicara mengenai hal-hal yang penting dan menjadi kebutuhan mereka. Pendekatan inilah yang harus diubah. Difabel harus diposisikan sebagai kelompok yang lebih mengetahui yang terbaik bagi mereka, dan karenanya, ruang-uang partisipasi bagi difabel harus dibuka di tingkat pengambil kebijakan. Dalam hal ini, organisasi-organisasi difabel, barangkali bisa menjadi infrastruktur yang akan secara efektif menampung aspirasi para anggotanya, yang selanjutnya dapat disuarakan di tingkat pengambil kebijakan.
Dengan pendekatan partisipatif, yang menempatkan difabel sebagai subyek yang memahami betul akan kepentingan dan kebutuhannya, setidaknya para perumus kebijakan mesti mulai berkonsultasi dan memperhatikan suara dan aspirasi difabel pada proses-proses seperti perumusan kebijakan, penyusunan anggaran, serta proses-proses lain yang strategis dan terkait dengan kepentingan public.
Disadari bahwa difabel adalah kelompok yang paling memahami permasalahan mereka. Untuk itu, suara dan aspirasi difabel harus lebih dapat didengar di tingkat pembuat kebijakan. Untuk itu, di kalangan internal difabel sendiri harus memiliki kemampuan dan kapasitas yang cukup dalam memperjuangkannya. Tak cukup dengan organisasi yang telah ada, tetapi soliditas perjuangan difabel antar organisasi juga menjadi bekal yang akan sangat berarti. Dalam hal ini, adalah merupakan tugas agen-agen pemerintah serta organisasi-organisasi masyarakat sipil dan non pemerintah untuk turut berkonsentrasi pada upaya-upaya penguatan masyarakat sipil dan organisasi-organisasi difabel.
Sering kali, perjuangan difabel untuk memperoleh hak dan kebutuhan mereka terganjal bukan karena ketidak mampuan pemerintah untuk mengakomodasinya, tetapi lebih karena ketidak tahuan dan rendahnya pemahaman. Dalam perencanaan sebuah sarana transportasi yang baru-baru ini terjadi di
Untuk itu, peningkatan pemahaman terkait dengan perspektif difabel di tingkat pengambil kebijakan serta pelaksananya menjadi hal yang sangat penting. Hal ini dapat ditempuh dengan berbagai cara. Yang pertama adalah training perspektif difabel secara berkala di tingkat pemerintah dan legislative. Yang ke dua adalah dengan pelibatan dan interaksi dengan kelompok difabel dalam berbagai pengambilan keputusan.
Adapun pada wilayah strategis, yang harus dilakukan adalah menjamin terpenuhinya hak dasar difabel melalui sebuah peraturan daerah yang bersifat mengikat seluruh komponen daerah yang ada. Hal-hal praktis seperti pengalokasian anggaran serta penyusunan program pemerintah hanyalah merupakan langkah praktis yang tidak dapat dipastikan keberlanjutannya, sedangkan untuk kepentingan jangka panjang, paying hukum berupa peraturan daerah menjadi suatu hal yang sangat penting dan dibutuhkan.
No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda.