Daftar Isi

WELCOME TO THIS BLOG

Saturday 4 July 2009

POSISION PAPER DIFABEL KABUPATEN KULONPROGO

title>

Tulisan ini merupakan sebuah pembacaan alternative terhadap permasalahan difabel yang berhasil dihimpun berdasarkan diskusi-diskusi bersama kelompok masyarakat difabel, sepanjang berlangsungnya program pendidikan politik yang diselenggarakan oleh SIGAB, dengan didukung oleh Yayasan Tifa. Diharapkan melalui pembacaan alternative ini, pembaca akan dapat lebih memahami difabel dan permasalahannya secara lebih obyektif dan menempatkan difabel sebagai kelompok yang mestinya diutamakan sebagai pihak yang seharusnya ditempatkan sebagai subyek terhadap penyelesaian permasalahan mereka.

Klarifikasi pengistilahan difabel

Istilah difabel (akronim dari different able people) yang secara bahasa berarti “orang dengan kemampuan berbeda” merupakan istilah baru pengganti pistilah “penyandang cacat” yang selama ini banyak digunakan. Istilah ini mencoba keluar dari konotasi negative dan stigma yang selama ini tidak dapat dihindari dari penggunaan istilah cacat. Disamping itu, istilah difabel juga mengakomodasi keyakinan bahwa tuhan telah menciptakan setiap hambanya dalam bentuk yang paling sempurna. Dengan meminjam “The Social Model of Disability” (Barnes, 1996), dan “Bio Psycho Social Model of Disability” (WHO, 2000), istilah difabel secara bebas dapat didefinisikan sebagai “seseorang dengan perbedaan kemampuan fisik atau mental, yang atas interaksinya dengan factor individu lainnya serta berbagai factor lingkungan social, mengalami hambatan yang signifikan untuk dapat beraktifitas sebagaimana layaknya, yang selanjutnya menghambat partisipasi sosialnya dalam konteks yang lebih luas”. Meski belumlah merupakan suatu kesepakatan bersama, setidaknya definisi ini dapat menjadi pembanding atas pengertian-pengertian yang telah banyak dipergunakan dalam berbagai institusi maupun produk hukum/peraturan yang telah ada terkait dengan difabel.

Peta Demografi dan Permasalahan

Berdasarkan data dinas social provinsi DIY tahun 2007, jumlah difabel di DIY setidaknya mencapai angka 42.000 (empat puluh dua ribu) orang, dengan persebaran di kabupaten Kulon Progo mencapai 6.000 dan selebihnya tersebar di kabupaten / kota lain di DIY. Diasumsikan, jumlah sebenarnya masih lebih banyak dibanding data yang ada, mengingat bahwa pendataan difabel sejauh ini seperti halnya gunung es yang hanya muncul di permukaan saja dan hingga saat ini, diyakini belum ada data falid mengenai jumlah difabel. Dari jumlah di atas, 70% dari difabel usia produktif tidak mempunyai pekerjaan. Sedangkan sisanya (30%) tersebar pada sector-sektor pekerjaan seperti serabutan, buruh pabrik/penyedia jasa, serta pegawai negeri. Sementara itu, sebagaimana dilangsir oleh sebuah berita online (http://www.eltirafm.com/news/news.php?extend.904), tingkat akses pendidikan bagi anak-anak difabel pun masih sangat rendah. Dari sekitar 5.000 jumlah anak berkebutuhan khusus, baru sekitar 60% yang dapat tertampung pada 62 SLB dan 70 sekolah inklusi di DIY. Sisanya masih belum tertampung di lembaga pendidikan manapun. Ironisnya, anggaran pendidikan bagi ABK, terutama yang dialokasikan pada sekolah-sekolah luar biasa terus meningkat dari tahun ke tahun tanpa dibarengi adanya peningkatan kualitas pendidikan bagi anak-anak difabel.

Data di atas hanyalah sedikit bukti yang menggambarkan bahwa secara structural, difabel belumlah memperoleh apa yang mestinya menjadi hak dan kebutuhan mereka. Masalah-masalah yang tergambar dari data tersebut seperti dalam hlal pendidikan dan akses lapangan kerja misalnya, tentu tidak muncul begitu saja. Ada sebuah struktur dan system, yang baik secara langsung maupun tidak, telah membentuk dan menjadi sebab terjadinya permasalahan tersebut.

Masalah Pendidikan

Dalam hal pendidikan, banyaknya anak-anak difabel yang tidak tertampung pada sekolah, baik itu SLB maupun sekolah umum, jelas berkorelasi terhadap system pendidikan yang diberlakukan. Sistem segregasi seperti yang diterapkan dalam bentuk sekolah luar biasa (SLB), terbukti mempunyai banyak keterbatasan, yang diantaranya adalah jarak/lokasi yang jauh dari tempat tinggal anak, biaya operasional dan penyelenggaraan yang mahal, serta jarang disediakan tempat tinggal/asrama bagi siswa. Keterbatasan tersebut dengan sendirinya telah menyebabkan tingkat kesulitan yang tinggi bagi anak difabel untuk dapat bersekolah di sekolah-sekolah luar biasa. Belum lagi kalau berbicara tentang kurikulum, kualitas pembelajarannya dan kualitas lulusannya. Hingga sekarang ini, lulusan sekolah luar biasa tidaklah dihargai sebagaimana lulusan sekolah-sekolah umum yang sederajat.

Meskipun pendidikan inklusi (sebuah system pendidikan yang mengakomodasi anak-anak berkebutuhan khusus untuk bersekolah di sekolah umum) telah mulai diselenggarakan dan dikembangkan, agaknya hal ini tidak dibarengi dengan penyiapan berbagai komponen pendidikan sebagaimana yang seharusnya. Sekolah-sekolah inklusi yang dibuka tidak dibarengi dengan penyiapan guru-guru untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Disamping itu, penyediaan sarana belajar yang aksesibel seperti gedung sekolah, media belajar yang aksesibel juga masih terlupakan dalam pengembangan dan penyelenggaraan sekolah inklusi. Sementara itu, di luar permasalahan di atas, mahalnya biaya pendidikan bagi difabel juga menjadi hal lain yang patut diperhatikan.

Sementara, pada sector pendidikan non formal, program-program yang ditawarkan telah tidak lagi mampu menjawab kebutuhan difabel akan keterampilan praktis siap kerja. Disamping frequensi pelatihannya yang masih minim, jenis pelatihan yang ditawarkan juga telah tidak lagi mengikuti kebutuhan dunia kerja. Di saat dunia kerja sudah merambah generasi multi media dan computer, pelatihan-pelatihan bagi difabel masih berhenti pada menjahit, pertukangan dan sablon. Pada akhirnya, lulusannya hanyalah kembali menjadi buruh yang tidak lagi up to date dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar kerja. Belum lagi jika melihat testimony beberapa difabel yang merasakan dan mengetahui persis bagaimana pelatihan-pelatihan semacam itu diselenggarakan hanya sebagai proyek pemerintah semata. Sungguh hal tersebut merupakan kenyataan bahwa difabel, sejauh ini masih ditempatkan sebatas obyek, dan bukan subyek yang mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka.

Akses Lapangan Kerja

Sampai saat ini, akses difabel pada lapangan kerja formal masih belum sepenuhnya terbuka. Dalam banyak kasus yang SIGAB temui sepanjang tahun 2003 – 2009, persyaratan pada dunia kerja formal masih belum berpihak pada difabel. Persyaratan seperti sehat jasmani, yang diartikan sebagai tidak cacat/difabel, yang sebenarnya tidak selalu berkait dengan kompetensi kerja yang dibutuhkan, seringkali menjadi alasan untuk menolak difabel memasuki dunia kerja. Hal ini terjadi baik di lingkungan pemerintahan (pegawai negeri) maupun di lingkungan swasta.


Sedangkan pada sector dunia kerja/usaha non formal, program-program pengembangan usaha yang ada dirasa tidak mampu menjawab kebutuhan difabel. Sulitnya akses financial seperti kredit usaha, penguatan modal, serta akses pengembangan usaha seperti pemasaran dan lain-lain, masih menjadi kendala utama bagi kelompok difabel yang bergerak di dunia usaha kecil.

Kesehatan

Disadari bahwa kesehatan merupakan hak dasar warga Negara. Artinya, dalam kondisi dimana seorang warga Negara tidak mampu mengupayakannya, maka sudah menjadi kewajiban Negara untuk memenuhinya. Sebuah langkah maju adalah bahwa pada saat sekarang ini, telah ada beberapa skema jaminan kesehatan yang diselenggarakan untuk rakyat seperti JAMKESMAS, JAMKESSOS dan JAMKESDA. Namun, dari pengalaman yang dirasakan oleh difabel, jaminan-jaminan kesehatan tersebut ternyata tidak mampu menjawab kebutuhan kesehatan difabel. Salah satu masalahnya adalah terbatasnya item-item obat dan treatment yang ditanggung, sementara penyakit yang melanda tidak pernah mau peduli apakah yang menyandangnya orang miskin atau kayaJ.

Meski di Indonesia belum ada suatu penelitian mengenai tingkat kerawanan kesehatan bagi difabel, namun diyakini bahwa pada tingkat difabilitas tertemtu, tingkat kerawanannya akan jauh lebih tinggi dibanding yang non difabel. Sebut saja kawan-kawan dengan paraplegi, setiap bulannya mereka membutuhkan perawatan kesehatan dan biaya-biaya medis yang tidak bisa ditangguhkan. Artinya, jika dengan penghasilan yang menurut kategori yang saat ini berlaku, mereka tidak dikategorikan sebagai masyarakat miskin, tetapi setelah dikurangi dengan biaya-biaya kesehatan yang rutin harus mereka keluarkan, bisa jadi penghasilan mereka tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.

Melihat permasalahan di atas, jelas bahwa jaminan kesehatan yang sudah ada belum dirasa mampu menjawab kebutuhan difabel akan jaminan kesehatan, dan untuk itu, perlu dikembangkan sebuah mekanisme jaminan kesehatan yang sensitive difabel dan mampu menjawab kebutuhan rakyat akan jaminan kesehatan.

Aksesibilitas fisik

Sampai sejauh ini, perhatian pemerintah terhadap terpenuhinya aksesibilitas fisik yang meliputi bangunan-bangunan dan sarana publik seperti kantor-kantor pelayanan masyarakat, rumah sakit, kendaraan umum dan fasilitas umum lainnya masih belum jelas terlihat. Meski beberapa peraturan telah memayungi hal tersebut seperti KEPMEN PU No 468, bahkan, di salah satu kabupaten di DIY telah ada PERDA no 12, tahun 2002, namun pelaksanaannya belum terlihat. Bahkan pada bangunan-bangunan dan sarana-sarana umum yang baru sekalipun, prinsip-prinsip aksesibilitas masih belum diimplementasikan sebagaimana mestinya. Tentu, diyakini bahwa kita sudah melewati masa untuk mempertanyakan sejauh mana pentingnya hal tersebut bagi difabel dan kelompok rentan fisik lainnya seperti lansia, ibu hamil dan anak-anak, sehingga yang lebih penting didiskusikan adalah upaya-upaya untuk merealisasikan hal tersebut pada tataran praktis.

Solusi / Rekomendasi

Permasalahan di atas tentulah tidak cukup mewakili banyaknya permasalahan yang terjadi pada kelompok masyarakat difabel, tetapi paling tidak telah mencakup sebagian besar dari permasalahan yang nyata-nyata terjadi dan dihadapi. Dari rangkaian permasalahan di atas, untuk sampai pada tataran rekomendasi solusi yang mungkin untuk ditempuh, sangat penting untuk mengenali stake holders yang terlibat dan turut mengambil peran. SIGAB mengkategorikan kelompok stake holder ini ke dalam beberapa bagian. Yang pertama adalah perumus dan pembuat kebijakan yang dalam hal ini adalah legislatif/DPRD, yang ke dua adalah pelaksana kebijakan di tingkat strategis yaitu eksekutif, sedangkan yang ke tiga adalah pelaksana pada tingkatan praktis/teknis seperti sekolah-sekolah, BlK, LBK, maupun pelaksana-pelaksana program pemerintah lainnya yang ditunjuk.

Setelah melihat permasalahan di atas, ada beberapa rekomendasi strategis yang mungkin untuk dilakukan yang diantaranya adalah:


  1. Meningkatkan partisipasi difabel dalam penyusunan berbagai kebijakan.
  2. Dengan melihat uraian di atas, banyaknya permasalahan yang muncul lebih dikarenakan kurangnya keterlibatan difabel dalam berbagai pengambilan keputusan dan kebijakan. Mereka masih cenderung diposisikan sebagai obyek yang cukup menerima tanpa diajak berbicara mengenai hal-hal yang penting dan menjadi kebutuhan mereka. Pendekatan inilah yang harus diubah. Difabel harus diposisikan sebagai kelompok yang lebih mengetahui yang terbaik bagi mereka, dan karenanya, ruang-uang partisipasi bagi difabel harus dibuka di tingkat pengambil kebijakan. Dalam hal ini, organisasi-organisasi difabel, barangkali bisa menjadi infrastruktur yang akan secara efektif menampung aspirasi para anggotanya, yang selanjutnya dapat disuarakan di tingkat pengambil kebijakan.

    Dengan pendekatan partisipatif, yang menempatkan difabel sebagai subyek yang memahami betul akan kepentingan dan kebutuhannya, setidaknya para perumus kebijakan mesti mulai berkonsultasi dan memperhatikan suara dan aspirasi difabel pada proses-proses seperti perumusan kebijakan, penyusunan anggaran, serta proses-proses lain yang strategis dan terkait dengan kepentingan public.

  3. Penguatan masyarakat sipil difabel.
  4. Disadari bahwa difabel adalah kelompok yang paling memahami permasalahan mereka. Untuk itu, suara dan aspirasi difabel harus lebih dapat didengar di tingkat pembuat kebijakan. Untuk itu, di kalangan internal difabel sendiri harus memiliki kemampuan dan kapasitas yang cukup dalam memperjuangkannya. Tak cukup dengan organisasi yang telah ada, tetapi soliditas perjuangan difabel antar organisasi juga menjadi bekal yang akan sangat berarti. Dalam hal ini, adalah merupakan tugas agen-agen pemerintah serta organisasi-organisasi masyarakat sipil dan non pemerintah untuk turut berkonsentrasi pada upaya-upaya penguatan masyarakat sipil dan organisasi-organisasi difabel.

  5. Membangun kesadaran di tingkat perencana dan pelaksana kebijakan terkait dengan perspektif dan pemahaman mengenai difabel.
  6. Sering kali, perjuangan difabel untuk memperoleh hak dan kebutuhan mereka terganjal bukan karena ketidak mampuan pemerintah untuk mengakomodasinya, tetapi lebih karena ketidak tahuan dan rendahnya pemahaman. Dalam perencanaan sebuah sarana transportasi yang baru-baru ini terjadi di Yogyakarta misalnya, tuntutan difabel akan sarana yang aksesibel tidak dapat sepenuhnya diakomodasi dan lebih dikarenakan ketidak pahaman para pelaksana yang terlibat. Padahal, jika diperhitungkan, biaya tambahan dari pengadaan sarana yang aksesibel tersebut tidak lebih dari 10% dari total biaya pembangunannya.

    Untuk itu, peningkatan pemahaman terkait dengan perspektif difabel di tingkat pengambil kebijakan serta pelaksananya menjadi hal yang sangat penting. Hal ini dapat ditempuh dengan berbagai cara. Yang pertama adalah training perspektif difabel secara berkala di tingkat pemerintah dan legislative. Yang ke dua adalah dengan pelibatan dan interaksi dengan kelompok difabel dalam berbagai pengambilan keputusan.

  7. Menjawab banyaknya permasalahan yang masih ada pada isu-isu hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, penyediaan aksesibilitas fisik dan lapangan kerja, perlu ditempuh beberapa langkah praktis dan strategis. Langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

    • Dalam hal pendidikan, implementasi pendidikan inklusi perlu didorong oleh pemerintah daerah dengan dukungan dewan melalui upaya-upaya penyiapan komponen pendidikan berupa pelatihan guru-guru terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi, penyediaan bahan dan sumber belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa, serta pembangunan infra struktur pembelajaran yang aksesibel.
    • Bersama difabel, legislative beserta eksekutif perlu duduk bersama untuk meninjau kembali program-program terkait dengan upaya pemberdayaan difabel agar benar-benar disusun dan diimplementasikan berdasarkan kebutuhan difabel.
    • Mengalokasikan anggaran yang proporsional dalam rangka menunjang ke dua maksud di atas.


Adapun pada wilayah strategis, yang harus dilakukan adalah menjamin terpenuhinya hak dasar difabel melalui sebuah peraturan daerah yang bersifat mengikat seluruh komponen daerah yang ada. Hal-hal praktis seperti pengalokasian anggaran serta penyusunan program pemerintah hanyalah merupakan langkah praktis yang tidak dapat dipastikan keberlanjutannya, sedangkan untuk kepentingan jangka panjang, paying hukum berupa peraturan daerah menjadi suatu hal yang sangat penting dan dibutuhkan.

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar anda.