Daftar Isi

WELCOME TO THIS BLOG

Monday 18 January 2010

Pendidikan Anak; Sebuah Kesadaran

Hari ini saya berdiskusi ringan dengan mas Umar (koordinator rumah belajar pelangi) serta mas Tasik (seorang relawan SIGAB).



Sebuah diskusi hangat pasca makan siang yang biasa kami lakukan di pendopo kantor yang berawal dari ngalor ngidul gak karuan, yang tidak disangka akan masuk pada wilayah pembicaraan yang lebih serius.


Setelah bicara ruwet gak karuan, tiba-tiba mas Umar mengalihkan pembicaraan pada pelaksanaan rumah belajar pelangi yang sudah berjalan untuk kurun waktu tiga bulan ini. Rumah belajar pelangi adalah program pengayaan pembelajaran yang kita create dan diperuntukkan bagi anak-anak difabel yang membutuhkan pengayaan pembelajaran. Saat ini, RBP masih difokuskan bagi anak-anak tuna rugu dengan program pembelajaran yang dispesifikasikan kepada peningkatan kemampuan bahasa dan membaca.


Umar: "Pak Joni, kok ada yang aneh ya dengan kecenderungan di RBP kita? Saya heran dengan sikap orang tua. Kita ini kan memberikan pembelajaran kepada anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu yang membutuhkan pendidikan, tapi kok ada diantara orang tua yang berasal dari keluarga miskin ketika anaknya akan kita beri pelayanan menolak ya?"


Dengan berapi-api, mas Umar menambahkan penjelasannya bahwa apa yang diberikan di RBP itu kan sebetulnya pembelajaran yang mutlak dibutuhkan oleh anak-anak yang semestinya didukung oleh orang tua anak tersebut. Tapi yang terjadi tidaklah begitu. Menurut mas Umar, yang terjadi justru orang tua difabel (terutama mereka yang miskin) seperti tidak punya pengharapan terhadap masa depan anaknya. Bahkan, mas umar dengan marahnya menirukan pernyataan salah satu orang tua yang menyatakan: "Yang penting kan anak saya tak openi, bisa makan, bisa main sama teman-temannya... Lha mau diapain lagi orang sudah kaya gitu kondisinya mau disekolahkan juga tidak akan bisa jadi apa-apa!!".


"Orang tua seperti itu pastilah orang tua yang bodoh.", celetup mas Tasik dengan nada sedikit gondok. Menurut mas Tasik, fakta kemiskinan yang menyelimuti sebagian besar keluarga difabel menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tidak adanya pengharapan keluarga difabel terhadap anak-anak mereka yang difabel. Apa lagi bila dibenturkan dengan kenyataan bahwa semua hal yang berkait dengan difabel pastilah mahal. SLB memang gratis, tapi lokasinya yang jauh dari rumah tempat tinggal menyebabkan untuk pulang dan pergi anak membutuhkan biaya mahal untuk transportasi. Belum kalau harus diantar. Sementara sekolah inklusi yang katanya memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan anak itu ternyata justru sebagian besar malah menterlantarkan difabel dengan tidak adanya unsur pembelajaran yang dirancang untuk menjawab kebutuhan khusus anak. Untuk anak tunarungu misalnya, tidak ada program pengayaan bahasa, sedangkan untuk tunanetra, tidak ada program orientasi dan mobilitas yang sebenarnya sangat dibutuhkan bagi anak-anak pada awal sekolah. "Lha kalau yang kaya saja bayar mahal tidak tertangani secara optimal, bagaimana dengan yang miskin!", tandas mas Tasik.


Tetapi, bagi saya, apapun alasannya, orang tua yang tidak mau memberikan kesempatan dan mendukung pendidikan anaknya adalah orang tua yang paling bodoh se dunia. Apa yang diberikan oleh RBP adalah sesuatu yang tidak mengenal pembiayaan. Mereka memang memungut biaya bagi mereka yang mampu. Tapi tidak bagi yang tidak mampu. Alasannya jelas bahwa pendidikan merupakan hak setiap anak yang tanpa syarat apakah dia difabel atau bukan, apakah dia kaya atau tidak. Artinya, anak dari keluarga miskin pun berhak atas layanan pendidikan di RBP. Jika mereka tidak mampu membayar, adalah menjadi tanggungjawab kami untuk mencarikan pembiayaannya. Tapi bukankah dengan membolehkan anaknya ikut program ini serta memberi dukungan dengan bersikap kooperatif saja sudah merupakan bentuk dukungan yang tak ternilai bagi pendidikan anak mereka? Kenapa itu tidak dilakukan? Inilah mengapa saya harus katakan bahwa orang tua yang seperti ini adalah orang tua yang bodoh!!


Lebih parah lagi, mas umar justru mengatakan orang tua itu sebagai orang-orang yang tidak punya otak... "Kalau mas Joni butuh uang dan saya datang menawarkan pemberian uang tanpa pamrih apapun, lalu mas Joni menolaknya, apa itu namanya kalau orang tidak punya otak?!" "Ya itulah perumpamaan untuk orang-orang tua yang seperti itu...


Penulis: Joni Yulianto

Kunjungi Blog Ini atau yang ini

1 comment:

Unknown said...

thanks gan infonya, bagus artikelnya
anthony souvenir kediri

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar anda.